Jumat, 23 April 2010

SABAR, SAMPAI KAPAN?



Semua hal baik datang kepada yang menunggu, tetapi tidak kepada yang menunggu terlalu lama.

Semua penantian harus berjangka; ada yang berjangka pendek, ada yang berjangka panjang, tetapi yang paling menyiksa adalah yang tidak jelas jangkanya.

Dan ternyata, tidak sedikit dari kita yang sedang menunggu sesuatu yang tidak jelas kapan akan sampai.

Dan sebetulnya,

Berapa banyakkah waktu dalam hidup kita ini, yang kita gunakan untuk menunggu?

Apakah orang-orang yang sedang menunggu itu, sedang menunggu sesuatu yang betul-betul ADA?

Karena, kita tidak mungkin bisa menunggu datangnya sesuatu yang tidak kita SEBABKAN kehadirannya.

Kita tidak bisa menunggu kesehatan, yang kita jauhkan dengan kebiasaan buruk.

Kita tidak bisa menunggu uang, dari pekerjaan yang kita malas mengerjakannya, atau yang kalau bisa kita hindari.

Kita tidak bisa menunggu kebahagiaan, dengan cara bicara dan bersikap yang menyalahkan siapa pun kecuali diri sendiri.

Dan kita tidak bisa menunggu kehidupan yang damai, dengan cara melanggar batasan-batasan kebaikan.

Maka,

Marilah kita bekerja dengan JELAS,
yang jelas apa yang kita kerjakan,
yang jelas tujuannya untuk menguntungkan orang lain,
yang jelas hasilnya adalah untuk kesejahteraan keluarga,
dan yang jelas cara-caranya adalah kejujuran dan keramahan.

Karena,

Jika yang kita kerjakan jelas, akan jelas jugalah apa yang kita tunggu.

Banyak sekali orang yang kelihatannya sibuk, tetapi yang sebetulnya tidak bekerja.

Ingatlah, bahwa tidak semua kesibukan adalah pekerjaan.

Pekerjaan adalah kesibukan yang menghasilkan keuntungan bagi orang lain, sebagai cara untuk membangun keuntungan bagi diri sendiri.

Mereka yang hanya sibuk tanpa niat untuk menguntungkan orang lain, sebetulnya hanya menunggu. Tetapi, tidak ada yang ditunggunya.

Karena sesungguhnya, kesibukan yang bukan pekerjaan, tidak akan menyediakan sesuatu yang bernilai untuk ditunggu, kecuali penuaan tanpa kemampuan.

Maka, marilah kita menepatkan yang kita kerjakan, dan menjadikannya kesibukan yang menghasilkan kegembiraan dan perbaikan kehidupan bagi orang lain.

Semua hal baik datang kepada yang menunggu, tetapi tidak kepada yang menunggu terlalu lama.

Semua penantian harus berjangka; ada yang berjangka pendek, ada yang berjangka panjang, tetapi yang paling menyiksa adalah yang tidak jelas jangkanya.

Dan ternyata, tidak sedikit dari kita yang sedang menunggu sesuatu yang tidak jelas kapan akan sampai.

Dan sebetulnya,

Berapa banyakkah waktu dalam hidup kita ini, yang kita gunakan untuk menunggu?

Mungkin itu sebabnya,

Salah satu kemuliaan hidup yang bisa dianugerahkan Tuhan kepada kita, adalah dihapusnya perasaan harus menunggu.

DIHAPUSNYA PERASAAN HARUS MENUNGGU

Hmm … interesting …

Sahabat saya yang muda dan yang masih panjang perjalanan hidupnya,
atau Anda yang sudah cukup lama menunggu,

Apakah orang-orang yang sedang menunggu itu, sedang menunggu sesuatu yang betul-betul ADA?

Karena, kita tidak mungkin bisa menunggu datangnya sesuatu yang tidak kita SEBABKAN kehadirannya.

Kita tidak bisa menunggu kesehatan, yang kita jauhkan dengan kebiasaan buruk.

Kita tidak bisa menunggu uang, dari pekerjaan yang kita malas mengerjakannya, atau yang kalau bisa kita hindari.

Kita tidak bisa menunggu kebahagiaan, dengan cara bicara dan bersikap yang menyalahkan siapa pun kecuali diri sendiri.

Dan kita tidak bisa menunggu kehidupan yang damai, dengan cara melanggar batasan-batasan kebaikan.

Maka,

Marilah kita bekerja dengan JELAS,
yang jelas apa yang kita kerjakan,
yang jelas tujuannya untuk menguntungkan orang lain,
yang jelas hasilnya adalah untuk kesejahteraan keluarga,
dan yang jelas cara-caranya adalah kejujuran dan keramahan.

Karena,

Jika yang kita kerjakan jelas, akan jelas jugalah apa yang kita tunggu.

Banyak sekali orang yang kelihatannya sibuk, tetapi yang sebetulnya tidak bekerja.

Ingatlah, bahwa tidak semua kesibukan adalah pekerjaan.

Pekerjaan adalah kesibukan yang menghasilkan keuntungan bagi orang lain, sebagai cara untuk membangun keuntungan bagi diri sendiri.

Mereka yang hanya sibuk tanpa niat untuk menguntungkan orang lain, sebetulnya hanya menunggu. Tetapi, tidak ada yang ditunggunya.

Karena sesungguhnya, kesibukan yang bukan pekerjaan, tidak akan menyediakan sesuatu yang bernilai untuk ditunggu, kecuali penuaan tanpa kemampuan.

Maka, marilah kita menepatkan yang kita kerjakan, dan menjadikannya kesibukan yang menghasilkan kegembiraan dan perbaikan kehidupan bagi orang lain.

Sebetulnya bukan yang kita tunggu – yang datang, kita lah yang datang menemui hadiah bagi kerja keras kita di masa depan.

Kita sampai, hanya karena kita bergerak.

Semua yang kita tunggu itu berada di masa depan, dan tidak mungkin datang menemui kita di hari ini.

Kita lah yang harus menjadi pribadi yang lebih kuat, karena akan ada banyak tutup dari periuk rezeki besar yang harus kita angkat dan buka di masa depan.

Kita lah yang harus menjadi pribadi yang lebih tinggi, karena permata dan mutiara kesejahteraan itu disusun di rak-rak yang lebih tinggi di masa depan.

Kita lah yang harus menepatkan sudut pandang, karena pintu-pintu menuju taman-taman pemuliaan kehidupan di masa depan tidak terlihat dari sikap-sikap yang salah.

Kita lah yang harus membersihkan hati, karena keindahan kehidupan yang bahkan sudah tersedia hari ini, tidak akan dirasakan oleh hati yang belum bersih.

Marilah kita mengambil tanggung-jawab sepenuhnya bagi pemberhasilan diri kita sendiri.

Mungkin hampir tidak ada perasaan yang lebih memerdekakan diri, daripada ketegasan untuk menjadi pemberhasil bagi kehidupan kita sendiri.

Cobalah yang selama ini Anda ragukan, atau akan lebih hebat lagi - lakukanlah yang selama ini Anda takuti.

Orang yang tidak mencoba karena takut gagal, lebih gagal daripada rekannya yang mencoba dan kemudian gagal.

Ujilah keberuntungan Anda. Cobalah melakukan sesuatu dengan lebih berani.

Bukankah sebetulnya,
banyak sekali yang akan Anda lakukan jika Anda lebih berani?

Tuhan Maha Adil. Dan Tuhan telah berjanji akan menyejahterakan dan membahagiakan hamba-Nya yang berupaya.

Tetapi mungkin muncul pertanyaan, …

Bagaimana jika Anda gagal? Coba lagi.
Bagaimana jika Anda masih gagal? Coba lagi.
Bagaimana jika Anda masih terus gagal? Coba lagi.

Eh! … nanti dulu, …
apakah tadi saya menambahkan penjelasan,
bahwa saat Anda mencoba lagi tadi itu,
Anda mencobanya dengan sikap yang lebih baik, dengan cara yang lebih tepat,
dan dengan niat yang lebih tulus?

Maaf ya? …

Mencoba lagi adalah melakukan lagi dengan lebih baik.

Dan bukan hanya sekedar mengulangi tindakan yang sudah jelas-jelas salah, yang tidak menghasilkan, dan yang hanya menjadikan diri kita kesal.

Mencoba lagi adalah melakukan lagi dengan lebih baik.

Maka,

Janganlah kita melakukan hal yang sama, dengan cara yang sama, tetapi mengharapkan hasil yang berbeda.

Tidak ada masa penantian dan kesabaran yang cukup untuk menunggu hasil dari cara kerja yang seperti itu.

Maka, anjurannya kepada kita adalah …

Lakukanlah pekerjaan yang sama dengan cara yang baru,
atau lakukanlah pekerjaan yang baru dengan cara Anda sekarang,
atau lakukanlah sesuatu yang baru dengan cara yang baru.

Baru setelahnya, kita pantas menunggu.

Sahabat saya yang kuat kesungguhannya,

Pribadi yang kuat, membangun nasib; pribadi yang lemah, menunggu keberuntungan.

Jika ada adik Anda yang belum ramah kepada nasehat-nasehat yang berpihak kepada kebaikan hidupnya, sampaikanlah ini kepadanya dengan penuh kasih:

Apakah engkau sedang menunggu pekerjaan yang lebih baik, sebelum engkau bekerja dengan sungguh-sungguh?

Apakah pekerjaan baik - pantas bagi orang yang tidak bersungguh-sungguh?

Ketahuilah, bahwa …

Sebagian dari kita sedang tidak sabar untuk membangun hasil-hasil yang super dalam pekerjaannya, tetapi sebagian lagi sedang tidak sabar untuk menghindari pekerjaan.

Bagaimana mungkin engkau bisa merasa berhak menunggu kesejahteraan, jika engkau menjadi beban yang memberatkan biaya orang lain?

Bagaimana mungkin engkau pantas menunggu kebahagiaan dengan hati yang pemarah dan penyerang seperti itu?

Bersabarlah engkau dalam sikap-sikap yang baik, dalam pergaulan yang baik, dan dalam pekerjaan yang baik.

Bersabarlah untuk hal-hal yang baik.

Dan, …

Rencanakanlah penggunaan dari usiamu.

Dia yang bisa berlaku tenang dalam karir dan kehidupan yang tanpa rencana, tidak bisa disebut sabar.
Dia hanya terbiasa tidak merasa gelisah dalam pelemahan hidupnya.

Dan ini yang penting sekali,
adikku yang dikasihi Tuhan, …

Tidak ada kesulitan yang lebih kuat daripada kegigihan.

Maka besarkanlah hatimu untuk menjadi wadah
bagi kegigihan itu.

Ingatlah ini, …

Jika engkau bersabar dengan dirimu sendiri,
itu adalah keanggunan.

Jika engkau bersabar terhadap orang lain,
itu adalah kebesaran.

Dan jika engkau bersabar dengan kehidupan,
itu adalah iman.

Jadi, …
sampai kapankah kita harus menunggu?

Kita akan menunggu selama kita harus menunggu.

Karena,

Bukankah setiap jiwa, sebetulnya sedang menunggu?

Dengannya,

Jiwa yang mengerti, tidak lagi menunggu,
karena ia terlalu sibuk menjadikan dirinya pantas menunggu sebesar-besarnya rezeki,
menunggu seindah-indahnya kebahagiaan,
dan menunggu setinggi-tingginya kemuliaan hidup.

Dan karena …
Maha Benar Tuhan dengan segala janji-Nya,
maka …

Menunggu adalah mengisi waktu dengan kegembiraan,
dalam menyambut kepastian rahmat bagi jiwa yang dekat dan taat.

Maka,

Marilah kita membuktikan kedekatan dan ketaatan kita kepada Tuhan dengan menjadikan diri kita rahmat bagi saudara dan sahabat kita.

sumber : http://www.facebook.com/pages/Mario-Teguh/52472954880
...

Selengkapnya >>

Rabu, 21 April 2010

My Husband Brought Me Here




A tiny room with minimal lighting.
A long narrow bed was the only furniture in it. Spread on it was a sheet of such faded and dirty white, with stains all over. I tamped down a surge of disgust as I took my seat on top of it, face to face with a woman of, perhaps, my age.

Raucous laughter and the wailing of dangdut music rang out outside our door. Just a routine night in the red light zone.

“If I may ask, how did you end up working here, mbak?”
I aimed that question to a woman clad in black pants and a red T-shirt. She was not wearing too much make up, she looked far from cheap. But the most astonishing thing for me was the copious utterances of faith dripping from her lips.
“Astaghfirullah… well…I know what I’m doing is wrong, mbak…”
“Well, sometimes I want to quit doing this, mbak. I feel ashamed before God. Afraid that my kids will find out …”
“Oh, in a day? If business is brisk, alhamdulillah, up to four men, mbak…”

Mbak’s looks and speech, which led me to believe that she came from one of the regions in Central Java, had truly changed my initial opinion of the people viewed in our society as prostitutes.

Back to my initial question, the woman looked pensive for a while. Her eyes misted a little when she started to tell her tale,
“It all began with my husband, mbak. A lot of times he didn’t come home. Then one day, I secretly tailed him. That’s how I learned that he often visited this place…”
I listened, waiting for the woman to continue as soon as she was comfortable enough to.

“Then I had a row with him, because he wouldn’t stop coming here. He had a crush on somebody here. In the end, he left me, mbak. Left, and no news of him since.”

I smiled a little at the term she used earlier. In front of me, the short-haired woman heaved a deep breath.
“Yeah, I didn’t know what to do, mbak, left to my own devices, just like that. In the end I tried to look for him here, thinking he must have gone to see his girlfriend again.”

The tan-skinned woman stared at me, struggling for a smile, even as her lips trembled as they opened.
“But I didn’t find him. It crossed my mind to go back to my hometown, but I was too ashamed. How could I go home alone, without my husband? Besides, I have my children to think about. How was I supposed to take care of them? I have no skills.”
And so?

The figure before me offered a sheepish smile.
“In the end I work here, mbak. The place where my husband used to go to…”
How ironic.

But can I justifiably blame her her profession, which wives everywhere view as a threat? Should I say that she ought to be tougher and that it’s better to return to her family in her hometown? Isn’t it better to be unemployed than selling one’s favor?

But I am not in her shoes. I do not know the details of her circumstances, her family history, the age and real condition of this woman’s children, and for that reason, it does not seem fair to judge her on any moral ground, much less on mere assumption.

I shook her hand and thanked her, pressing some money for the time she had spared for me. She seemed momentarily dumbstruck, before she hugged me, thanked me over and over, and whispered,

“Please for me, mbak, so that one day I might…”
The sentence was left unfinished, but I knew what I had to say.
Amen.

Tanah Abang, December 31, 2003

footnote:
mbak : a saying for an older woman (like to a big sister), or a polite way to used infront of the name, especially to javanese, ppl.

HAPPY KARTINI'S DAY FOR ALL WOMEN IN THE WORLD... KEEP FIGHTING !!

source : A story from a woman's heart (Catatan Hati Seorang Istri) by Asma Nadia
...

Selengkapnya >>