Rabu, 17 Oktober 2012

AKU MENCINTAIMU SUAMIKU



Cerita ini adalah kisah nyata… dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah laptopnya. Bacalah, semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Cinta itu butuh kesabaran… Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???

Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita… Aku menjadi perempuan yg paling bahagia… Pernikahan kami sederhana namun meriah… Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu. Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula. Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya. Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu…

Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci… Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku… sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku. Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.

 ***

 Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami. Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya. Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku… Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA. Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku… Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina-hina oleh mereka… Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang janda itu. Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al –Qur’an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan. Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur suamiku. Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suamiku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya. Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” dan mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup. Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya. Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …

“Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”. Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya,perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apayg mereka bicarakan. Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, barusebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dia nmengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Kemudian aku pun menemaninya. Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, “lebih baik kau pulang saja, ada kami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja. ” Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abangharus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku.Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama. 

Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata. Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku. 

 *** 

 Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain. Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggilku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk diayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu. Aku bertanya, “Ada apa kamu memanggilku?” Ia berkata, “Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang” Aku menjawab, “Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu ditravel bag dan kamu sudah memegang tiket bukan?” “Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku”, jawabnya tegas. “Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?”,tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya. “Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas. “Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?”, lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku.Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya. 

Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang &cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku. Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku. Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami. Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang danaku pun tak mau membuat riuh keluarga ini. Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku,lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya. Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi. Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku. Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya. Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuksangka. Aku harus percaya pada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku. 

 ***

  Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang. Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3. Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi.. Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku. Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya,”kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu.. Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku.. Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan ceritapadanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung… 

Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-fotokami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk. Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms. Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi,aku akan kabarin lagi”. Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah. Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini. Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelummasuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku takmau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami. Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya.. Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku.. Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. 

Aku pun segera merapikan bawaannya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta. Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas,aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at. 

 *** 

 Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi. Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku? Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itujuga aku langsung menelpon kerumah mertuaku dan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon pun langsung terputus. Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku,apalagi memanjakan aku. Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah. Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu,tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang. Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya. 

 *** 

 Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam,lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan. Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir. Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku. Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku. “Ya, ada apa Yah!” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”. “Lusa kita siap-siap ke Sabang ya.” Jawabnya tegas. “Ada apa? Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan. Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami. Dia mengatakan “Kau ikut saja jangan banyak tanya!!” Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi. Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buatku. 

Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa. Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku.. *** Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana,termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini.. Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.

 Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda. Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya. Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan. “Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha”. Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam. “Ada apa ya Nek?” sahutku dengan penuh tanya.. Nenek pun menjawab, “Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun,sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!!”. Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku? “Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua. Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya. 

“Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya”, neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu. Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu. Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, “kau maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan?” Masya Allah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku.. Aku selalu menutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini. “Fish, jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab. Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas. “Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.” Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikitpun menetes di hadapan mereka. Aku lalu bertanya kepada suamiku, “Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah?” Suamiku menjawab, “Dia Desi!” Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, “Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.” Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.” “Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok”, setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar. Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini.

Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit.Diiringi akutnya penyakitku.. Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini? Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, “sudah tidak cantikkah aku ini?” Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya. Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiridi belakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu. Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, “terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti!Iya kan?.” Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo. Dalam hatiku bertanya, “mengapa ia sangat cuek?” dan ia sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata, “sudah malam, kita istirahat yuk!” “Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang. Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu. 

 *** 

 Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku. Di laptop aku menulis saat-saat terakhir ku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Aku save di my document yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.” Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar.Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku. “Apakah kamu sudah siap?” Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata : “Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak. 

Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?” Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar… “Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar. Dia mengangguk dan berkata, “Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”,sambil ia mengelus wajah dan menghapus air mataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja. Dia tersenyum sambil berkata, “Kita liat saja nanti ya!”. Dia memelukku danberkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama”. Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, “Ayah,apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah.” Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata,”Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah”. Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis. 

Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, “bunda baik-baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir. Aku pun menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang”. Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut. 

 *** 

 Setelah tiba di masjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk di seberang suamiku. Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku. Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begituijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya… aku kuat. Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding di pelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu..hatiku menangis. Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini? Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang di musuhi. Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana. Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur di sofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. 

Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah,tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget. “Kamu datang ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku” Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. 

Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini.. Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?” Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan. Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?” “Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu. Lalu suamiku berkata, “Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat “seperti itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“seperti itu”). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda” Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini. Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah. Aku tidak pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah.Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu.” Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian di kamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga. Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci. 

*** 

 Keesokan harinya… Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku. Aku pun dilarikan ke rumah sakit.. Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku.. Aku merasakan tanganku basah.. Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran. Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, “Bunda, Ayah minta maaf…” Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku? Aku berkata dengan suara yang lirih, “Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..” “Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget sama Ayah.” Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata. Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil. Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku.. Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka.. Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah. 

Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku. Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku,apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya.” 

*** 

 Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku. 

 ======================== 

 Ayah,mengapa keluargamu sangat membenciku? Aku dihina oleh mereka ayah. Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu? Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adikiparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah.. Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah? Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah.. Aku diusir dari rumah sakit. Aku tak boleh merawat suamiku. Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku. Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku. Aku sangat marah.. Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan ibunya.. Aku tak mau sakit hati lagi. Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku.. Engkau Maha Adil.. Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah.. Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku.. Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu.. Aku kuat ayah dalam kesakitan ini.. Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku.. Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah.. Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu. Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui. Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku. Aku harus sadar diri. Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu. Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku? Ayah.. aku masih tak rela. Tapi aku harus ikhlas menerimanya. 

Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya. Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku. Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir. Sebelum ajal ini menjemputku. Ayah.. aku kangen ayah.. 

 =========== 

 Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda.. Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini. Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri. Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur. Bunda akan selalu hidup dihati ayah. Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah.. Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya. Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku takperduli, hidup dalam kesendirianmu.. 

Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus. Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda.. Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui. Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku.. Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat ditidurmu yang panjang. Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakanapa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja. Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana? Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia di alam sana? Tunggulah Ayah disana Bunda.. Bisakan? 
Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. 
Aku mohon.. Ayah Sayang Bunda.. 

 Dikutip dari facebook
...

Selengkapnya >>

Selasa, 16 Oktober 2012

KETIKA CINTA HARUS USAI



Aku memandang lekat tubuh yang tengah tergolek tidur di sampingku. Tegap dan tampan, tak bercacat. Tubuh yang sangat kukenal, yang telah berada disisiku selama 10 tahun terakhir hidupku. Tubuh seorang yang sangat kucintai, yang menjadi ayah dari anak-anakku.


 Benakku menembus waktu, mengingat masa ketika kuliah dulu. Siapa yang tak pernah mendengar nama Yudhis. Mahasiswa kedokteran dari universitas negeri, ketua senat, aktivis Rohis, kader Lembaga Dakwah Kampus, dan seabrek jabatan lainnya. Siapa pula yang tak kenal dengannya di kampus. Yudhis sering muncul di depan publik. Kepandaiannya berorasi mengagumkan. Menggugah semangat dan memukau yang mendengarnya. Aku merasa amat mengenal Yudhis. 


Kami satu angkatan dan sering bekerja sama dalam banyak kegiatan dan kepanitiaan. Beberapa kali Yudhis menjadi ketua dan aku sebagai sekretaris. Sudah menjadi rahasia umum kalau Yudhis banyak penggemarnya. Fans-nya berasal dari beragam kalangan. Dari cewek gaul sampai aktivis, satu angakatn, hingga adik kelas, sefakultas maupun tidak. Yudhis punya kharisma yang luar biasa. Tutur katanya lembut dan sopan, wajahnya putih bersinar. Nilai plus yang lain adalah IP-nya tetap tingi walau aktivitasnya bejibun.  Menjalani banyak kegiatan bersama dan interaksi berfrekuensi tinggi diantara kami berdua, diam-diam menjadikan aku sebagai salah satu yang berada diantara jajaran para penggemar gelapnya. Simpati yang mulai berkembang dari benih itu kukubur ke sedalam-dalamnya hatiku. Biar ia terpendam di sana dan tak ada yang tahu. Aku dan Yudhis, kami sama-sama tahu, tak ada kata pacaran dalam kosa kata kami. Apalagi kami berada dalam satu wadah pembinaan. Sekecil apa pun "rasa" yang sempat menyeruak, sesegera mungkin aku enyahkan. Kadangkala sulit bagiku untuk mengendalikan gejolak hati. 

Berada pada masa usia yang telah cukup untuk mengenal kata "cinta". Berada pada masa di mana di dunia yang sama masyarakat telah mafhum dengan hubungan cinta di kalangan mahasiswa. Tidak pernah terlintas sedikitpun aku akan pacaran. Sejak kecil ayah telah menanamkan pendidikan yang keras dan benar. Memproteksi anak-anak perempuannya dari segala kemungkinan fitnah. Tapi hati ini. Uhh, tak mungkin aku membohongi diri sendiri bahwa aku menyukai Yudhis. Yudhis perhatian padaku? Ah,masa iya? Kutepuk pipiku untuk menyadarkan diri dari keterlenaan sesaat. Ya, Yudhis memang perhatian padaku, tapi juga perhatian ke yang lainnya. 

Seorang pemimpin dituntut untuk perhatian kepada anak buahnya. Tidak aneh kalau dia sering menghubungiku untuk membicarakan berbagai masalah dalam kegiatan kami. Aku berada di balik lemari sekretariat, sibuk membereskan file-file Forum Studi. Kala itu sekretariat sepi, hanya ada aku seorang. Tiba-tiba terdengar percakapan dari balik lemari. Aku tak bisa melihat siapa mereka. Mereka pun tak menyadari ada sepasang telinga yang berada di balik lemari. "Nur, kamu tahu nggak? Kak Yudhis perhatian banget ke aku. Aku nggak terlihat di rapat sekali saja, dia langsung menelepon aku!" seru suara pertama. "Wah, kamu beruntung banget Mel. Kak Yudhis kan cakep, pinter, kaya lagi. Lumayanlah, biar Kijang tapi keluaran terbaru loh." Suara ke dua menimpali. "Bagiku dia perfect banget. Kamu lihat sendiri kan tadi bagaimana dia memandangku. Terus senyumnya. Manis banget bo!" "Memang kalau aku perhatiin, Kak Yudhis ada feeling sama kamu. Tapi saingannya banyak Mel. Tau kan siapa aja yang naksir dia. Putri, Heni, Sinta. Belum lagi kakakkakak angkatan." "Masa bodoh sama mereka. Yang penting Kak Yudhis suka sama aku." Terselip nada GR dari suaranya. Bukannya aku bermaksud menguping, tapi dialog itu tersimak dengan sendirinya. Dari suaranya aku bisa mengenali mereka.  Adik tingkat, 3 angkatan di bawahku. Rasanya tak salah juga kalau ia merasa GR. Kadang Yudhis memang terlalu tebar pesona.

Berulang kali kudengar para ikhwan menasehatinya tentang masalah ini. Akhirnya Yudhis menyadari bahwa kharismanya telah menyebabkan banyak hati yang jatuh bergelimpangan. Dan ia mulai membangun jarak. Kini tubuh laki-laki yang berstatus suamiku itu bergerak. Menggeliat perlahan. Lalu tetap mendengkur halus. Kupandangi wajahnya. Hidung mancungnya menurun kepada kedua buah cinta kami, Ghazali dan Sabila. Kata banyak orang, Ghazali adalah fotocopy-an dari ayahnya. Aku perhatikan bibir suamiku yang berwarna merah. Agak tak lazim memang seorang laki-laki berbibir merah. Masih kuingat saat bibir itu mengucap janji setia. Mitsaqan ghalizha, sebuah perjanjian yang amat tegung dalam pandangan Allah. Betapa mantap ia berucap dalam ijab kabul kami. Mengingatnya menyeruakkan rasa haru. Membuat tetes kecil bergulir di kedua pipiku.

 ***** 

Sore itu aku dan ayah ibuku sedang mengobrol di teras belakang sambil menyamil kue buatan ibu. "Nduk, sekarang apa rencanamu selanjutnya?" Ayah tetap saja memanggilku dengan 'Nduk', panggilan terhadap anak perempuan dalam bahasa Jawa. "PTTmu sudah selesai. Kamu mau pilih kuliah lagi ambil spesialis atau mau nikah?" Dahiku mengernyit. Nikah? "Nikah Yah? Mau nikah sama siapa? Nggak ada calon nih!" "Masih ingat Bram, putranya Om dan Tante Rono? Dulu waktu kecil sering main sama kamu." Keluarga Ronodipuro, masih priyayi dan punya bisnis besar. Keluarga mereka memang bersahabat dengan keluargaku. Kuingat pula Bram kecil yang sering merebut dan merusakkan mainanku.

Aku menganguk-angguk tanda ingat. "Sekarang Bram sudah jadi Branch Manager di perusahaan papanya. Dia juga punya bisnis otomotif. Bengkel dan tempat modifikasi. Ayah kemarin ke sana. Lumayan besar, pelanggannya juga banyak sepertinya." "Tante Rono sering ngobrol-ngobrol sama ibu. Dia ingin mencarikan istri untuk Bram. Katanya sudah cari kemana-mana nggak ada yang cocok. Eh setelah ketemu kamu beberapa kali dan ngobrol sama kamu seperti kemarin itu, dia bilang pilihannya jatuh ke kamu Nduk." Ibu menjelaskan sambil menuangkan the dari teko ke dalam cangkir ayah yang sudah kosong. "Tante Rono itu seneng lho sama kamu. Katanya kamu cocok jadi istri Bram." 

 "Oooo.begitu," ujarku. "Bagaimana Nduk?" tanya ayah. "Bagaimana apanya Yah?" tanyaku kembali. "Kamu mau nggak?" "Ihhhh Ayah. Nggak bisa dijawab sekarang dong! Harus dipikir-pikir, harus istikharah. Paling tidak ketemu dulu. Belum tentu Bram juga langsung mau kan Yah." Akhirnya tibalah saat pertemuan itu. Om Rono, Tante Rono, dan Bram datang ke rumah kami tepat pukul tujuh malam. Setelah sedikit basa-basi di ruang tamu, kami lalu berbincang di meja makan, berusaha mengakrabkan antara kedua keluarga. Bram kini tidak terlalu banyak berbeda dengan Bram kecil. Ketampanan yang telah terlihat di masa kecil kini makin menunjukkan kesempurnaannya. Penampilannya perlente dengan pakaian dari merek terkenal. Tercium pula aroma wangi yang berasal dari tubuhnya. Alamak, gumamku dalam hati, aku saja tak pernah berparfum, kecuali jika mau sholat. Selama perbincangan itu aku sudah merasa tidak sreg. 

Entah kenapa. Kalau bicara masalah fisik, Bram memang bak pemain sinetron. Tapi namanya tidak sreg, ya tidak sreg. Hal begini kan tidak bisa dipaksa-paksa. Ditengah-tengah asyiknya mengobrol, tiba-tiba Om Rono bicara dengan nada keras, "Bram memang harus punya istri seperti Arni. Supaya dia bisa belajar banyak tentang agama dan tidak lagi keluyuran ke café sampai pagi." Semuanya langsung terdiam. Tante Rono dan Bram memperlihatkan mimik wajah gusar mendengar kata-kata Om Rono. Aku, ayah, dan ibu juga kaget. Ibu berusaha mencairkan suasana yang jadi sedikit dingin dengan menawarkan sup asparagus kepada kami semua. Oopss, rupanya Bram ini anak café. 

Nggak heran juga, terlihat dari gayanya. Sepulangnya mereka dari rumah kami, ayah mengatakan akan mencari informasi lebih jauh tentang Bram. Bagaimana kehidupan dan pergaulannya. Om dan Tante Rono cukup sholeh. Tapi jaman sekarang orang tua tidak bisa dijadikan standar bagi kesholehan seorang anak. Anak kyai belum tentu jadi kyai. Anak perampok belum tentu perampok juga. Aku pasrah, memohon kepada Allah diberi jodoh yang terbaik bagiku. Aku percaya karena Dia telah berjanji dalam firmannya Surah An-Nuur 26, "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji. 

Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik pula." Kalau Bram bukan jodohku, pasti Allah akan tunjukkan jalannya, dan begitu pula jika sebaliknya. Kabar itu justru datang dari Tante Rono sendiri. Bukan dari siapa-siapa yang menyebarkan gossip. Bukan pula dari Toni, sepupuku yang diberi tugas ayah untuk mencari tahu tentang Bram. Tante Rono berkunjung ke rumah sambil bercucuran air mata lalu mencurahkan isi hatinya pada ibu. "Jeng, hancur sudah hati saya. Mau ditaruh dimana wajah dan kehormatan keluarga Ronodipuro." Isak Tante Rono sesenggukan. "Memang Bram anaknya susah diatur. Tapi saya tak menyangka semuanya jadi begini. Rasanya kami sudah berusaha mendidiknya dengan benar." Ibu menenangkan sambil mengusap-usap pundak Tante Rono. "Tenanglah Mbakyu. Yang sabar. Memang ada apa tho?!" Sekonyong-konyong tangisnya malah jadi tak terbendung. Aku bangkit menyodorkan tissue kepada Tante Rono. "Bram itu Jeng..dia.dia.dia.menghamili sekretarisnya!" Seusai keterbata-bataannya, Tante Rono melanjutkan tangisnya.  "Perempuan itu menuntut untuk dinikahi. Kami tak bisa menolak." "Astaghfirullahaladzhim!!" ujarku dan ibu bersamaan.

Benarlah ini jawaban dari Allah. Bram bukan jodohku. Aku menatap trenyuh kepada Tante Rono. Kasihan, pasti berat sekali bebannya menerima kenyataan darah dagingnya menghamili anak orang di luar nikah. Semoga Bram benar-benar bertobat dan mau memperbaiki dirinya. "Saya nggak enak sama Jeng, sama Arni," kata Tante Rono setelah tangisnya mereda. "Padahal rencana sudah mau lamaran. Tadinya saya berharap sekali kita bisa besanan. Arni pasti bisa membimbing Bram untuk menjadi lebih baik." "Sudahlah Mbakyu. Kita tidak apa-apa kok. Keluarga kami tetap akan menjadi sahabat keluarga Mbakyu. Semoga jodoh Bram inilah yang terbaik. Mbakyu yang tabah ya!" Batalnya perjodohan antara aku dan Bram tidak memberikan dampak apapun pada kehidupanku. Aku tetap memohon jodoh kepada Rabb-ku Yang Maha Mendengar. Tak sampai sebulan kemudian, dengan tak disangka-sanga, datanglah serombongan keluarga ke rumahku. Mereka hanya punya satu tujuan, melamarku.

KETIKA CINTA HARUS USAI 2
 

Suatu siang di hari Ahad, 10 tahun yang lalu, serombongan keluarga datang. Aku, ayah dan ibu kaget bukan kepalang. Kami tidak mengira akan ada yang datang membawa sepasukan orang dengan berderet mobil yang tiba-tiba sudah rapi parkir di depan rumah. Dua hari sebelumnya Yudhis memang meneleponku. Katanya ia akan ke rumahku Ahad ini. Tapi, siapa yang mengira seperti ini. Kupikir ia sekedar silaturahmi atau ada kepentingan tertentu. Dengan sedikit basa-basi, orang tua Yudhis menyampaikan maksud kedatangan mereka untuk melamarku. 

Ditodong begini aku tak sanggup berkutik. Bunga-bunga di taman hatiku pun semerbak, setelah sekian lama dipendam kini bermekaran. Ayah, ibu dan keluarga semua menyukai Yudhis. Tentu saja! Apa lagi yang kurang dari seorang Yudhis? Tampan, pandai, kaya, dan sholeh. Ayah Yudhis juga pengusaha sukses, walau kalibernya sedikit di bawah Om Rono. Yudhis adalah sosok sempurna yang berwujud nyata. Membuat bangga bagi yang menggandengnya. Menyenangkan diajak ngobrol. Tidak memalukan bagi orangtua yang menjadikannya menantu. Dan pasti akan jadi suami yang bisa membimbingku, bisa mengerti aku, dan menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Siapalah yang sanggup menolak Yudhis? 

Terlihat orangtuaku langsung jatuh hati pada Yudhis. Tapi ayah tetap menyerahkan keputusan padaku, karena akulah yang akan menjalani pernikahan. Aku diam ketika ditanya. "Arni diam saja, berarti iya. Begitu kan Pak Margono?" ujar ayah Yudhis. Ayah mengangguk-angguk saja. "Maaf," aku berpaling ke arah Yudhis, "belum bisa langsung menjawab ya atau tidak. Beri aku kesempatan untuk mempertimbangkan dan sholat istikharah." "Oh monggo, silahkan saja. Kalau Arni butuh waktu, sampaikan saja kira-kira berapa lama akan mempertimbangkan lamaran ini dan kapan akan memberikan jawaban. Tapi jangan lama-lama. Kasian Yudhis lho...!" ayah Yudhis menjawab sambil berseloroh. 

Aku diam saja, bingung mau menjawab apa. Aku sendiri tidak tahu berapa lama yang kubutuhkan untuk mengambil keputusan terpenting dalam hidupku ini. "Begini saja Mas, kita sama-sama berdoa saja semoga semua dimudahkan oleh Allah SWT. Nanti kalau Arni sudah bisa memutuskan, saya yang akan menghubungi Mas Permadi. Bagaimana Mas?" kata ayah. Ayah Yudhis melirik ke arah Yudhis. Yudhis mengangguk pelan. "Baiklah Pak Margono, kalau memang begitu. Yah, memang sebaiknya hal-hal seperti pernikahan ini tidak terburu-buru menjawabnya. 

Kami memang tidak mengharapkan ada jawaban saat ini juga. Paling tidak kita sudah silaturahmi, nambah saudara. Kami juga ingin mengenal Arni lebih dekat, juga Bapak dan Ibu sekeluarga. Karena, terus terang kami juga kaget. Yudhis ini nggak ada angin nggak ada hujan, tahu-tahu minta saya dan mamanya untuk melamar. Padahal saya nggak pernah lihat Yudhis itu pacaran. Lha ini anak mau nikah sama siapa tho? Paling tidak kan calonnya mesti dikenalkan dulu, diajak main ke rumah. Bergaul sama keluarga besar. Dilihat bibit, bebet, bobot. Dan itu kan nggak langsung ujug-ujug begini, pakai waktu. Tapi Yudhis ngotot, katanya sistemnya bukan begitu, nggak ada pacaran-pacaran. 

Ya sudah akhirnya kami berembug dengan keluarga untuk datang hari ini. Kami ini hanya mendapatkan sedikit gambaran tentang Arni dan keluarga dari Yudhis. Jadi kami senang sekali bisa berkenalan dengan Bapak sekeluaga. Kami minta maaf kalau kedatangan kami merepotkan." "Wah nggak kok Mas, sama sekali tidak merepotkan. Lha malah seneng kok dikunjungi sekeluarga besar begini." Ayah tersenyum menanggapi penuturan ayah Yudhis yang panjang dan lebar. "Kami harap Yudhis bersedia menunggu jawaban dari Arni. Dan kami mohon apapun jawabannya nanti tidak membuat rasa tidak enak diantara kita semua. Mudah-mudahan masih bisa terus bersilaturahmi ya Mas...!" Malamnya kuceritakan kedatangan Yudhis sekeluarga kepada sahabatku yang juga satu kuliah dengan aku dan Yudhis dulu.

Menurutnya, dari informasi yang bisa dipercaya, Yudhis memang sudah menyukaiku sejak kuliah. Oh, itukah sebabnya ia selalu memilihku menjadi sekretaris? Katanya, ketika kabar aku akan dilamar oleh Bram sampai ke telinganya, Yudhis kalang kabut. Dan akhirnya tanpa ba bi bu ia langsung datang melamar. Akhirnya, Yudhis berhasil membawaku ke pelaminan. Betapa bangganya aku bersanding dengannya. Sang aktivis yang didamba banyak gadis. Dan kenyataannya akulah yang mendapatkannya, setelah menyingkirkan banyak saingan di hati Yudhis. Kudapati tatapan mata cemburu dan iri dari beberapa teman dan adik kelas yang kutahu pernah menyukai Yudhis, saat mereka datang ke resepsi pernikahan kami. 

Hari-hari kami selanjutnya tentulah sangat indah. Bak lapis legit yang manisnya selalu ada di setiap gigitan. Tak ada duka. Tak ada lagi gelisah, gundah. Semua yang ada hanyalah bahagia dan bahagia. Lalu cinta kami berbuah. Lahir Ghazali, lalu Sabila. Semuanya menambah manisnya cinta kami. Di awal pernikahan kami, aku dan Yudhis tetap aktif di dalam kegiatan dakwah dan sosial. Hampir setiap malam kami habiskan dengan tahajud berjamaah.

 ***** 

Kini air mataku mengalir di kedua pipiku. Aku terisak tak bersuara. Memandangi wajah tampan yang tetap terlelap tenang. Ramadhan yang lalu, tidak lagi kami lewati dengan penuh syahdu. Tak ada tarawih bersama. Tak ada tilawah bersama anak-anak. Jika dihitung, Yudhis hanya sempat 3 kali berbuka puasa di rumah. Sisa yang 27 hari entah berbuka puasa di mana. Ia selalu pulang malam, bahkan Subuh sekalian, setelah orang-orang selesai bersahur. Beberapa tahun yang lalu, Yudhis sibuk, aku pun sibuk. Sebagai dokter spesialis jantung, Yudhis tergolong dokter muda yang cukup laris. Aku sibuk mengurus anak, rumah, dan praktek di puskesmas. Kesibukan kami membuat tak lagi aktif dan terikat dengan kegiatan dakwah yang sebelumnya kami geluti. 

Tali temali yang selama ini membentengi, satu persatu mulai putus. Di awal karirnya, Yudhis sering bercerita ia beberapa kali terlewat waktu sholat kalau sedang ada operasi yang memakan waktu berjam-jam, dari satu waktu sholat ke waktu sholat yang lain. Aku selalu mengingatkan agar ia selalu sholat tepat waktu. "Kalau lagi operasi mana bisa ditinggal," kata Yudhis saat aku menegurnya. "Masa untuk sholat nggak bisa ditinggal sebentar saja?" kataku. "Kamu kayak nggak ngerti saja. Kalau ditinggal bisa-bisa pasiennya meninggal. Nanti keluarga pasien menuntut dan menuduh malpraktek. Yah, ini kan darurat, nggak apa-apa kan?" kata Yudhis enteng. Awalnya ia menganggap darurat, tapi kali kesekian saat tidak ada darurat, ia semakin menganggapnya enteng. Aku heran dengan sikapnya yang sangat mudah menggampangkan sholat. 

Entah kapan dan bagaimana mulainya, Yudhis mulai sering pulang malam di luar jadwal rumah sakit. Namun, aku percaya penuh padanya. Dan sebagai istri yang baik aku berusaha untuk tak banyak bertanya yang macam-macam. Yudhis mulai mempunyai komunitas tersendiri dalam lingkungannya. Komunitas yang sangat berbeda dengan komunitas kami semasa kuliah dulu. Ibadah kami sangat garing. Yudhis malas mengimamiku. Kalau ia capek, aku disuruh sholat sendirian. Apalagi Qiyamullail, sudah lama sekali kami tinggalkan. Capek! Begitu selalu alasannya. Hubungan di tempat tidur juga terkena imbasnya. Segala-galanya jadi kering, tanpa ruh. Menjalaninya bagai rutinitas dan kewajiban semata. Buah cinta kami mulai besar dan mulai nakal. Aku sering kewalahan menghadapinya sendirian. Kalau aku bicara pada Yudhis, jawabnya, "Lho itu tanggung jawabmu sebagai ibu. Kamu bisa mendidik anak nggak sih? Tugasku itu cari uang!" Ia pasti lupa isi khutbah nikah di pernikahan kami dulu. "Mendidik anak adalah tugas kedua orang tua, baik ibu maupun bapak. Ayah yang menjadi imam harus bisa menjadi nahkoda yang baik bagi biduk rumah tangganya. Dasar-dasar pendidikan itu harus berdasarkan arahan sang ayah." Kadangkala aku bisa sabar menghadapi Yudhis, tapi kadang pula kami bertengkar hebat. Yudhis semakin sering pulang diatas jam 1 pagi. Kalau kutelepon ke rumas sakit, dijawab kalau Yudhis sudah pulang dan tidak ada jadwal yang mengharuskannya pulang pagi.

Walau begitu aku tetap berkata pada diriku sendiri, everything runs smooth, everything is ok. Jam berapa pun ia pulang, aku tetap berusaha melayaninya. Mulai dari membuatkannya teh, kopi atau susu panas. Atau menyiapkan air panas kalau ia ingin mandi. Secapek apapun aku, kuusahakan sekuat tenaga untuk menyambut kedatangannya dengan senyum. Yudhislah yang biasa pulang dengan wajah kusut masai dan mata merah. Tanpa senyum. Hanya perintah yang keluar dari bibir merahnya. Kadang-kadang ia bersikap manis. Tapi itu hanya jika ia ingin melampiaskan hasratnya padaku. Aku bukanlah seorang istri yang mau dilaknat oleh malaikat hingga pagi. Tugas seorang istri berusaha kutunaikan dengan baik. Malam-malam panjang, ketika menanti Yudhis pulang, sering kuisi dengan sholat tahajud. Aku memohon agak Allah membuka kembali hati Yudhis dan memberikan takdir yang baik bagi kami sekeluarga. "Arni, aku ada berita nih! Tapi kamu jangan kaget ya. Kamu percaya kan sama aku? Ini tentang Yudhis," suara Toni, sepupuku, terdengar di HPku. Aku mengangguk walau tahu ia tak akan melihat anggukanku. 

 "Aku beberapa kali ini melihat suamimu. Pertama kali aku lihat dia lagi makan siang sama perempuan yang rambutnya dicat kemerahan di Chopstix Pondok Indah Mall. Nggak jauh kan dari tempat suamimu praktek."   Toni melanjutkan, "Bukan cuma itu, aku pernah nguntit suamimu itu ke beberapa tempat. Afterhour, D'S Place, Barbados." "Oh ya?" kataku datar. "Kamu kok nggak kaget?" tanya Toni. "Kaget? Memang kenapa?" tanyaku bingung. "Arni! Itu tuh tempat dugem, tau nggak?" jawab Toni. "Du...gem?" "Itu lho dunia gemerlap. Afterhour itu bar dan tempat billiard. Yang dua lagi yah semacam itu, sama saja. Aku lihat Yudhis sama cewek dengan mata kepala sendiri. Percaya deh, dia minum minuman, turun ke floor, peluk-pelukan sama cewek sok bule itu." Nada suara Toni berapi-api penuh emosi. Aku tak percaya, gumam bathinku. Tapi tak urung, tangan ini gemetar memegang HP. "Kamu salah orang mungkin Ton. Orang yang mirip Yudhis." "Salah orang bagaimana. Jelas banget gitu kok! Aku ngeliat dia sekitar jam 1 malem lewat. Dia sering nggak ada di rumah nggak kalau jam-jam segitu?" Aku tersentak. Ya, Yudhis memang sering pulang pagi, dan ia nyata-nyata tidak sedang tugas di rumah sakit. Tapi...main billiard, minum, berpelukan dengan perempuan...? Rasanya sulit hati ini mempercayainya.

Hari ini, baru saja, semua pertanyaan yang bergumul di hatiku dan segala hal yeng menjadi rahasia selama ini terkuak lebar. Yudhis berkata jujur padaku bahwa ia mencintai perempuan lain, ingin bercerai dariku dan akan menikahi perempuan itu. DUARRRRRRR!!!!!! Bagai disambar geledek rasanya jantungku. Aku limbung. "Baru kali ini aku benar-benar merasakan jatuh cinta. Maaf, sejak dulu aku tak pernah merasa mencintai kamu Arni. Aku mau ceraikan kamu!" Bibir itu berkata dingin, seolah tak sedang berbicara dengan istri yang telah mendampinginya sepuluh tahun ini.

Bagaimana mungkin ia mengaku tak mencintaiku. Semuanya begitu manis. Aku tak percaya ia berkata begitu. "Yudhis, sadarkah apa yang baru saja kamu katakan? Kamu baru saja menjatuhkan talak!" "Memang begitulah mauku. Akhir-akhir ini aku merasa begitu hidup. Bergairah dan penuh cinta. Aku merasa bahagia dengan Meta. Kita urus perceraian secepatnya. Besok kita ke Pengadilan Agama." Kata-katanya dingin menusuk. "Sore nanti aku akan pindah. Sekarang aku mau numpang tidur sebentar. Di sofa di luar sini juga nggak apa-apa. Aku capek!" "Mas, apa benar kamu sering ke tempat-tempat dugem?" aku memberanikan diri bertanya. "Hahhhh?! Dari mana kamu tahu?" teriak Yudhis. "Toni. Dia bilang beberapa kali lihat kamu. Sedang bersama perempuan dan minumminum." "Hmmm, jadi selama ini kamu kirim sepupumu itu jadi mata-mata heh?! Betul. Si Toni nggak salah lihat. Ohhh...pantas saja aku merasa pernah lihat dia."

 "Ngapain sih Mas kamu ke tempat-tempat seperti itu?" aku bertanya sambil menahan tangisku yang hampir saja meledak. "Ah kamu tahu apa tentang tempat seperti itu. Aku merasa senang di sana. Dan apa pula urusanmu. Kita sudah cerai, kamu nggak berhak turut campur lagi. Ini hidupku tahu?!" "Masya Allah Mas, istighfar Mas, istighfar...kamu lagi lupa diri Mas! Cepatlah bertobat" "Hhhahhhhhhh...SUDAH DIAM!!!!" bentak Yudhis kasar sambil menghempaskan tubuhnya di sofa empuk yang terletak di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian dengkur halusnya terdengar. Begitu Yudhis terpejam tangisku tumpah ruah. Tak pernah terbayangkan sebelumnya Yudhis akan jadi seperti ini. Sang manusia sempurna bagi sebagian orang yang mengenalnya. 

Yudhis, yang semasa muda tak pernah mengenal tempat-tempat seperti itu. Yudhis, yang dulunya selalu membasahi bibirnya dengan berzikir Yudhis, yang selalu menjaga wudhu, tak mau bersentuhan dengan wanita selain mahramnya. Yudhis, yang dulu lingkungannya selalu orang-orang yang baik. Tapi sekarang??? Ketika lingkungan berubah, ia pun berubah. Menjadi manusia yang 180 derajat berpindah ke sisi lain dunia. Siapa yang akan mengira. Aku menangis, membenamkan wajahku ke bantal. Ghazali memelukku dari belakang. "Mama, kenapa nangis?" "Nggak kok sayang. Nggak papa," aku mengusap air mata yang berurai. Ya Allah, lalu bagaimana nasib Ghazali dan Sabila tanpa ayahnya. Aku tak sangup lagi berpikir. Di atas sajadah, aku mengadu kepada Rabbku yang Maha Mendengar hambanya yang tengah kesusahan. Aku pun sadar tidak seluruhnya adalah kesalahan Yudhis, pasti aku ada mempunyai andil. 

Aku terlalu mencintainya, memujanya. Bahkan cintaku padanya mungkin melebihi cintaku pada Allah. Mungkin ini teguran Allah bagiku, yang sering lupa padaNya. Yang menjadikan kecintaanku pada mahluk melebihi segala-galanya. Satu episode hidupku telah berusaha kulalui dengan tetap berada di jalanNya. Dahulu, aku memutuskan menikah dengan Yudhis berdasarkan istikharah. Pada waktu itu aku ridho dengan agamanya. Sebagaimana pesan Baginda Rasulullah SAW agar tidak menolak pinangan laki-laki yang agamanya baik. Jika tidak maka akan terjadi fitnah di muka bumi. Dengan berbagai pertimbangan itu aku menerima lamaran Yudhis. 

Jadi salahkah aku kalau semuanya berakhir seperti ini? Tiada kesempurnaan bagi seorang manusia. Allahlah yang Maha Membolak-balik hati manusia. Salahkulah yang mengharapkan kesempurnaan dari Yudhis, yang menganggap ia adalah segala-galanya tak bercacat. Padahal setiap orang tak pernah tahu bagaimana akhir hidupnya. Aku masih hidup dan bernafas. Ini bukan akhir hidupku. Aku yakin Allah pasti punya rencana yang lebih baik di balik semua ujian yang diberikannya. Kekalutan dan ketakutanku perlahan sirna. Aku tak perlu khawatir dengan hidupku, hidup anak-anakku kelak. Allah-lah yang menjamin hidupku. Dia tak akan menelantarkan hambaNya. Inilah takdir yang telah ditetapkan olehNya. 

Dan ini pasti yang terbaik bagi kami semua. Semoga saja Allah membukakan kembali hati Yudhis yang telah kelam dan mengembalikannya kepada kehidupan yang dulu. Kupandangi lagi wajah tampan di seberang aku duduk saat ini. Nanti sore ia akan pergi dari rumah ini, pindah ke apartemen Meta, perempuan yang sering bersamanya di tempat dugem. Dan esoknya, kami akan ke Pengadilan Agama, mengurus perceraian. Tangisku tetap ada, jiwaku tetap remuk redam, tapi hatiku terhibur olehNya. Satu episode hidup telah kulalui. Ketika cinta harus usai maka hidup harus terus berlanjut. Hati kecilku bertanya, kepada siapakah sebenarnya cintaku kupersembahkan? Kepada Yudhis ataukah Allah. Cinta sesungguhnya tak pernah usai. Kuusap lelehan tangisku. Episode lain telah menunggu untuk disusuri. 

sumber gambar : http://fazil-fazilla.blogspot.com 

terimakasih untuk mu yang telah mengirim cerita yang sangat inspiratif ini... Semoga engkaupun membacanya... I'm not going to forget you.. forever..

...

Selengkapnya >>

MY EVERLASTING WISH



Ya Allah,..Duhai zat yang mendetakkan jantung ini, 
Duhai zat yang selalu memberikan makan kepada hamba-hambanya yang lapar, 
Duhai yang memberikan air yang sejuk di kala kami dahaga, 
Duhai yang mengaruniakan kantuk di kala kami lelah, 
Duhai yang selalu menjaga dan mengurus kami kala kami tertidur, 
Hanya Engkaulah Yang Maha Agung.. hanya Engkaulah Yang Maha Kuasa.. 

Ya Allah, betapapun kami menghianatiMu setiap waktu tapi tiada suatu saat pun terputus Engkau memberi nikmat kepada kami, 

Ya Allah jadikanlah hari ini menjadi hari ampunan bagi segala kebusukan kami.
Penghapus bagi seluruh dosa-dosa kami, hari dimana Engkau singkapkan tabir dari hati kami, hari dimana Engkau gantikan segala kegelapan dengan cahaya ilahiyahMu di qolbu ini. 

Ya Afuw ya ghafur.. 
ampuni kami… Engkau Yang maha mengerti tentang kami.. 
tubuh kami kotor penuh dosa, hidup kami berseliMut aib.. kini kami berada di hadapanMu… Ampuni yaa Allah sebusuk apapun masa lalu yang pernah kami lalui .. Ampuni sebanyak apapun dosa-dosa yang meluMuri tubuh ini.. Hapuskan yaa Allah sekelam apapun masa lalu kami.. 
Ya Allah.. Duhai zat Yang maha Pengampun .. kami datang padaMu… 

Ya Allah, kami ingin hidup kami berubah, gantikan segala kebusukan kami menjadi kesucian dalam pandanganMu. gantikan segala kegelapan dengan cahayaMu.. gantikan segala kedzaliman kami menjadi hidayah taufikMu.. gantikan Ya Allah… Ampuni dan selamatkan kami, ibu bapak kami yaa Allah, anak-anak kami, dari segala bala hidup ini.. 

Ya Allah, kami ingin merasakan indahnya hidup dekat denganMu, 
Kami ingin hari-hari yang tersisa ini menjadi hari-hari yang selalu akrab bersamaMu, kami lelah jauh dariMu ya Allah , kami tidak ingin terpuruk dan terhina karena tenggelam dalam kesesatan. 
Berikan kepada kami keMudahan, untuk mengenalMu Ya Allah,. 
Berikan kepada kami jalan untuk mendekat kepadaMu,. 
Jadikan kami orang-orang yang selalu merasakan kehangatan dan kasih sayangMu. 

Ya Allah jadikan sujud kami menjadi sujud yang penuh nikmat KepadaMu,. 
Jadikan shedaqah kami menjadi jalan yang membuat kami akrab denganMu,. 
Jadikan amal-amal kami sebagai amal-amal yang tulus hanya karenaMu,. 
Ya Allah jangan biarkan kesibukkan dunia membutakan hati kami,... 
Jangan biarkan pangkat dan jabatan, menjeruMuskan kami,... 
Jangan biarkan hawa nafsu membuat kami terperosok dalam maksiat,.. 

Ampuni Ya Allah..kami para suami yang telah mendzalimi istri-istri kami.. juga ampuni para istri yang kurang dapat melayani keluarganya. Ampuni jikalau kami salah mendidik keluarga dan anak-anak kami Ya Allah.. 
Utuhkan kami di dunia.. utuhkan kami di surgaMu 
Ya Allah.. Selamatkan anak-anak kami, Muliakan akhlaknya .. kuatkan imannya.., berilah mereka yang lebih baik daripada yang kami dapatkan, jadikan mereka hamba-hamba yang Kau banggakan di singgasanaMu yg tinggi itu. 

Duhai Allah yang maha Agung 
Karuniakanlah kepada kami keindahan Akhlak, 
Kelembutan hati, kesejukan qalbu 
Pancarkan dari diri kami, keindahan agamaMu ya Allah 
Pancarkan dari pribadi diri kami, keagungan agamaMu ya Allah 
Jadikan, kehadiran kami di manapun menjadi cahaya bagi ummatMu, 
Jadikan, kehadiran kami di manapun menjadi penyejuk bagi ummatMu, 
menjadi penggelora semangat bagi hamba-hambaMu.. 

Ya Allah cegahlah kami dari segala godaan yang menggelincirkan 
Lindungilah kami dari tipu daya setan yang menyesatkan 
Lindungi kami dari segala sifat Munafiq, ya Allah 
Lindungi kami dari segala keMusyrikan 
dan lindungi kami dari perbuatan apa pun yang akan menjadi contoh buruk bagi ummatMu 

Ya Allah Engkau adalah tujuan kami 
Engkau adalah tumpuan harapan kami 
Engkau adalah dambaan hati kami 
Karuniakan kami kesempatan memperbaiki diri, Ya Allah 
Ya Allah jadikanlah kami para pemimpin yang dapat menjadi 
contoh kebaikan dan kemuliaan bagi sebanyak-banyaknya umatMu.. 

Ya Allah, berikan ketaqwaan kepada jiwa-jiwa kami dan sucikanlah kami. 
Engkaulah sebaik-baik yang mensucikannya. 
Engkau Pencipta dan Pelindungnya 
Ya Allah, perbaiki hubungan antar kami 
Rukunkan antar hati kami 
Tunjuki kami jalan keselamatan 
Selamatkan kami dari kegelapan dg cahaya rububiyahMu 
ya Allah.. Jangan Engkau tanamkan di hati kami kesombongan dan kekasaran terhadap sesama hamba yang beriman 
Bersihkan hati kami dari benih-benih perpecahan, pengkhianatan dan kedengkian 

Ya Allah, wahai yang memudahkan segala yang sukar 
Wahai yang menyambung segala yang patah 
Wahai yang menemani semua yang tersendiri 
Wahai yang mengamankan semua yang takut 
Wahai penguat segala yang lemah 
Mudah bagiMu melancarkan segala yang susah 
Engkau Maha Tahu dan melihatnya 

Ya Allah, wahai zat yang Maha Mendengar, sayangilah kami, Berkahi sisa uMur kami ini, 
Jadikan uMur yang tersisa ini membawa maslahat bagi orang tua kami, bagi keluarga kami, dan bagi sebanyak-banyakNya umat Mu di bumi ini, 

Ya Allah hanya engkaulah Tempat kembali kami.. hanya engkaulah Yang Maha Tahu sisa uMur kami.. berikan kesempatan bagi kami Ya Allah… mempersembahkan yang terbaik bagi keluarga kami, masyarakat kami, bangsa kami, dan utamanya bagi agamaMu yang lurus.. 

Ya Allah, limpahkanlah Hidayah dan TaufikMu yaa Allah… jadikan kami hamba-hamba yg shalih hingga akhir hayat kami.. Jadikan akhir hayatnya khusnul khatimah.. Lapangkan kubur kami kelak, Jadikan kami ahli surgaMu.. 


dikutip dari : http://haleyborn.blogspot.com...

Selengkapnya >>