Oleh : Maria Cholifah, SS, M.Pd.
1. Pendahuluan
Pergeseran paradigma dalam pranata pendidikan yang semula terpusat menjadi desentralistis membawa konsekuensi dalam pengelolaan pendidikan, khususnya di tingkat Perguruan Tinggi. Kebijakan tersebut dapat dimaknai sebagai pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada stake holders (civitas akademika) dalam mengelola sistem pendidikan dan pengajarannya, termasuk di dalamnya berinovasi dalam pengembangan kurikulum dan model-model pembelajaran.
Otonomi yang luas itu, hendaknya diimbangi dengan perubahan yang berorientasi kepada kinerja dan partisipasi secara menyeluruh dari komponen pendidikan yang terkait. Kondisi ini gayut dengan perubahan kurikulum yang sedang diluncurkan dewasa ini oleh pemerintah, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Konsekuensi yang harus ditanggung oleh sekolah dan perguruan tinggi adalah restrukturisasi dalam pengelolaannya (capacity building), profesionalisme tenaga pengajar, penyiapan infrastruktur, kesiapan siswa dalam proses belajar dan iklim akademik (academic atmosphere).
IT atau Information Technology memberikan kontribusi yang luar biasa dalam hal penyebaran materi Informasi ke seluruh belahan dunia. IT merupakan suatu alat Globalisator yang luar biasa – salah satu instrumen vital untuk memicu time-space compression (menyusutnya ruang dan waktu), karena kontaknya yang tidak bersifat fisik dan individual, maka ia bersifat massal dan melibatkan ribuan orang. Hanya dengan berada di depan komputer yang terhubung dengan internet, seseorang bisa terhubung ke dunia virtual global untuk ‘bermain’ informasi dengan ribuan komputer penyedia informasi yang dibutuhkan, yang juga terhubung ke internet pada saat itu.
Perkembangan teknologi informasi (TI) yang sedemikian pesat tersebut menciptakan kultur baru bagi semua orang di seluruh dunia. Dunia pendidikan pun tak luput dari sentuhannya. Integrasi teknologi informasi ke dalam duina pendidikan telah menciptakan pengaruh besar. Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi, mutu dan efisiensi pendidikan dapat ditingkatkan.
Salah satu produk integrasi teknologi informasi ke dalam dunia pendidikan adalah e-learning atau elektronik learning. Saat ini e-Learning mulai mengambil perhatian banyak pihak, baik dari kalangan akademik, profesional, perusahaan maupun industri. Di institusi pendidikan tinggi misalnya, e-Learning telah membuka cakrawala baru dalam proses belajar mengajar. Sedangkan di lingkungan industri, e-Learning dinilai mampu membantu proses dalam meningkatkan kompetensi pegawai atau sumber daya manusia. (Agusmanthono, 2006:2)
Menurut Darin E. Hartley dalam Muktiraga (2007: 1) e-learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media internet, intranet atau media jaringan komputer lain. LearnFrame.Com dalam Glossary of e-learning Terms [Glossary, 2001] menyatakan suatu definisi yang lebih luas bahwa: e-learning adalah system pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik untuk mendukung belajar mengajar dengan media internet, jaringan komputer maupun komputer stand alone.
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 31 dan SK Mendiknas No. 107/U/2001 tentang PTJJ. Di mana secara lebih spesifik UU ini mengizinkan penyelenggara pendidikan di Indonesia untuk melaksanakan pendidikan melalui cara PTJJ dengan memanfaatkan teknologi informasi.
2. Kelebihan E-Learning
Jika pembelajaran konvensional di kelas mengharuskan siswa untuk hadir di kelas pada jam-jam tertentu (seringkali jam ini bentrok dengan kegiatan rutin siswa), maka e-learning memberikan fleksibilitas dalam memilih waktu dan tempat untuk mengakses pelajaran. Siswa tidak perlu mengadakan perjalanan menuju tempat pelajaran disampaikan, e-learning bisa diakses dari mana saja yang memiliki akses ke Internet. Bahkan, dengan berkembangnya mobile technology (dengan palmtop, bahkan telepon selular jenis tertentu), semakin mudah mengakses e-learning. Berbagai tempat juga sudah menyediakan sambungan internet gratis (di bandara internasional dan cafe-cafe tertentu), dengan demikian dalam perjalanan pun atau pada waktu istirahat makan siang sambil menunggu hidangan disajikan, siswa dapat memanfaatkan waktu untuk mengakses e-learning.
E-learning juga memberikan kesempatan bagi siswa untuk memegang kendali atas kesuksesan belajar masing-masing, artinya siswa diberi kebebasan untuk menentukan kapan akan mulai, kapan akan menyelesaikan, dan bagian mana dalam satu modul yang ingin dipelajarinya terlebih dulu. Mereka dapat memulai dari topik-topik ataupun halaman yang menarik minatnya terlebih dulu, ataupun bisa melewatkan bagian yang dianggap telah kuasai. Jika mengalami kesulitan untuk memahami suatu bagian, siswa dapat mengulang-ulang lagi sampai merasa mampu memahami. Banyak siswa merasa cara belajar independen seperti ini lebih efektif daripada cara belajar lainnya yang memaksakannya untuk belajar dengan urutan yang telah ditetapkan.
Banyak biaya yang dapat diminimalisasi dari cara pembelajaran dengan e-learning. Biaya di sini tidak hanya dari segi finansial tetapi juga dari segi non-finansial. Secara finansial, biaya yang bisa dihemat, antara lain biaya transportasi ke tempat belajar dan akomodasi selama belajar (terutama jika tempat belajar berada di kota lain dan negara lain), biaya administrasi pengelolaan (misalnya: biaya gaji dan tunjangan selama pelatihan, biaya instruktur dan tenaga administrasi pengelola pelatihan, makanan selama pelatihan), penyediaan sarana dan fasilitas fisik untuk belajar (misalnya: penyewaan ataupun penyediaan kelas, kursi, papan tulis, LCD player, OHP). Biaya non-finansial yang bisa dihemat antara lain: produktivitas tetap dapat dipertahankan bahkan diperbaiki karena siswa yang telah bekerja tidak harus meninggalkan pekerjaan yang sedang pada posisi sibuk untuk mengikuti pelatihan (jadwal pelatihan bisa diatur dan disebar dalam satu minggu ataupun satu bulan), daya saing juga bisa ditingkatkan karena karyawan bisa senantiasa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaannya, sementara bisa tetap melakukan pekerjaan rutinnya.
3. Kelemahan E-Learning
Berdasakan survei yang dilakukan oleh Chartered Management Institute (CMI) dan Centre for Applied Human Resource Research, Inggris mensurvei hampir 1000 orang manajer dan 12 pemimpin perusahaan besar dan menemukan, prediksi bahwa online learning akan menggantikan ruang kelas belum sepenuhnya terbukti secara menggembirakan. Menurut survei, hanya separo manajer yang telah memanfaatkan sumber-sumber daya online untuk memecahkan permasalahan, dan hanya satu dari 5 yang membuka program e-learning yang terstruktur. (Muktiraga, 2007:5)
Hampir 50% responden menyatakan penolakan terhadap e-learning disebabkan karena fasilitas online tersebut “menghilangkan sentuhan kemanusiaan”, dan selebihnya lebih menyukai dialog tatap muka langsung karena pembelajaran dengan bimbingan tutor lebih efektif. Rasa bosan juga merupakan hambatan terbesar dan responden tersebut juga berpendapat bahwa konten yang mereka temukan dalam materi online gagal untuk “mengikat” dan menarik mereka. Tiga dari 10 mengaku kurang termotivasi untuk menyelesaikan materi online tersebut, dengan 17% beralasan “kurangnya support“.
Bagaimanapun e-learning tidak dapat menggantikan sepenuhnya terhadap sistem belajar mengajar seperti di bangku sekolah atau kuliah, belajar di sekolah juga memiliki keunggulan dibandingkan dengan e-learning, yaitu proses pendidikan hanya bisa terjadi dalam interaksi langsung dalam segi-segi afektif seperti : sikap, nilai, apresiasi, kehalusan perasaan yang mana tidak cukup hanya diberitahukan atau diinformasikan, tetapi harus dihayati dan ditularkan melalui interaksi langsung. Pengembangan kemampuan-kemampuan dasar juga tidak bisa dipelajari sendiri, tetapi membutuhkan bimbingan, latihan, pendamping guru secara langsung. Pada usia pendidikan dasar untuk segi-segi tetentu membutuhkan contoh langsung. Bagaimanapun tugas seorang guru dan dosen tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik agar mengahasilkan generasi penerus bangsa yang terbaik.
4. Kendala E-Learning
4.1 Kendala E-Learning di Indonesia
Sebuah studi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Diten Dikti ) RI (2003) menunjukkan bahwa sub sektor pendidikan tinggi terdiri dari 82 perguruan tinggi negeri (PTN) dan lebih dari 2.236 perguruan tinggi swasta (PTS). PTN menampung 1 juta mahasiswa dan sekitar 2 juta mahasiswa berada di PTS. Bagian yang lebih kecil dari populasi mahasiswa, sekitar 200.000 mahasiswa berada di perguruan tinggi agama dan institusi pendidikan professional. Tingkat partisipasi di pendidikan tinggi masih rendah (sekitar 12,8 %) dibandingkan dengan negara berkembang lainnya di lingkup regional, seperti Filipina (32%) dan Thailand (30%). (Agusmantho, 2006:4)
Manfaat IT di bidang pendidikan memang menggiurkan bagi kaum akademisi yang haus akan informasi, juga bagi mereka yang hendak memobilisasi bangsa Indonesia agar lebih maju lagi dalam bidang ini. Namun ada beberapa kendala di Indonesia yang menyebabkan IT dan Internet belum dapat digunakan seoptimal mungkin. Pemerintah memang masih perlu mempersiapkan banyak hal untuk ini.
Salah satu kendala utamanya : kurangnya ketersediaan sumber daya manusia untuk melakukan proses transformasi teknologi, dan menyediakan infrastruktur telekomunikasi beserta perangkat hukumnya yang mengaturnya. Dalam hal perangkat hukumnya, yang menjadi pertanyaan dilematis adalah, “apakah infrastruktur hukum yang melandasi operasional pendidikan di Indonesia cukup memadai untuk menampung perkembangan baru berupa penerapan IT untuk pendidikan gaya baru ini?”, Sedangkan Cyberlaw yang menjadi senjata untuk menjerat pelaku kriminalitas di dunia maya tidak terdengar “kabarnya”.
Selain itu masih terdapat kekurangan pada hal pengadaan infrastruktur teknologi telekomunikasi, multimedia dan informasi yang merupakan prasyarat terselenggaranya IT untuk pendidikan sementara penetrasi komputer (PC) di Indonesia masih rendah. Biaya penggunaan jasa telekomunikasi juga masih mahal bahkan jaringan telepon masih belum tersedia di berbagai tempat di Indonesia. Untuk itu perlu dipikirkan akses ke Internet tanpa melalui komputer pribadi di rumah. Sementara itu tempat akses Internet dapat diperlebar jangkauannya melalui fasilitas di kampus, sekolah, bahkan melalui warung Internet. Hal ini tentunya diperhadapkan kembali kepada kesiapan pihak pemerintah maupun pihak swasta; Yang pada akhirnya pemerintahlah yang memegang kunci keberhasilan penerapannya. Sebab pemerintah merupakan pihak yang dapat menciptakan iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi investasi swasta di bidang pendidikan. Namun sementara pemerintah sendiri masih demikian pelit untuk mengalokasikan dana untuk kebutuhan pendidikan. Saat ini baru Institut-institut pendidikan unggulan yang memiliki fasilitas untuk mengakses jaringan IT yang memadai. Ambil contoh penerapan e-learning di kampus ITB, IPB, UI, Unpad, Universitas Hasanuddin, Universitas Negeri Malang, dan universitas lainnya baik negeri maupun swasta, seperti Universitas Bina Nusantara (Ubinus) Jakarta. Tetapi masih banyak pula institut-institut pendidikan lainnya yang belum diperlengkapi dengan fasilitas IT.
4.2 Kendala E-Learning Pada Pengajaran Bahasa Asing
Sebagai seorang pengajar bahasa asing (Bahasa Mandarin) saya tidak dapat sepenuhnya menjadikan e-learning sebagai sumber belajar utama bagi mahasiswa saya. Ada komponen-komponen tertentu dalam sistem belajar mengajar yang menuntut dosen bertatap muka dengan mahasiswanya. Misalnya ketika mengajarkan menulis Hanzi (huruf mandarin), dosen harus memantau perkembangan keterampilan mahasiswa dalam menulis huruf Mandarin (urutan goresan, bentuk goresan setiap huruf).
Menurut Ur (1999:120), “Aktivitas kelas yang mengembangkan kemampuan siswa dalam berbicara merupakan komponen penting dalam pembelajaran bahasa”. Hal ini didukung juga dengan pendapat masyarakat bahwa keberhasilan pengajaran bahasa asing ditunjukkan dengan kemampuan siswa dalam berkomunikasi. Sehingga siswa harus sering dilatih bicara agar siswa tidak merasa minder dan kekurangan kosakata. Di sinilah kewajiban seorang pengajar memberikan motivasi terhadap siswanya. Motivasi tersebut dapat berupa pendekatan afektif atau pengajaran yang menarik seperti games, diskusi, pembelajaran berbasis konteksual dll.
Pembelajaran berbasis kontekstual adalah mengajak siswa untuk terjun langsung mengamati kejadian dan keadaan yang nyata, sehingga siswa tidak hanya mengimajinasikan ilmu yang telah diserap. Dosen, guru dapat mengajak siswanya pergi ke tempat rekreasi agar siswa dapat menggambarkan dan menceritakan situasi dan kondisi yang ada di sana. Hal tersebut tidak akan bisa dilakukan dalam e-learning.
Dosen atau guru harus memberikan ujian secara tatap muka agar nilai yang didapat reliable dan valid. Terlebih jika materi yang diberikan adalah percakapan, pronunciation practice.
5. Bagaimanakah E-Learning yang Ideal ?
Menurut Ramadhani (2008: 2), ada empat langkah dalam manajemen pengelolaan program e-learning yakni pertama menentukan strategi yang jelas tentang target audience, pembelajarannya, lokasi audience, ketersediannya infrastruktur, budget dan pengembalian investasi yang tidak hanya berupa uang tunai. Kedua, menentukan peralatan misalnya hoste vs installed LMS dan Commercial or OS-LMS, ketiga adalah adanya hubungan dengan perusahan yang mengembangkan penelitian berkaitan dengan program e-learning yang dikembangkan di sekolah dan kampus. Ke empat menyiapkan bahan-bahan yang akan dibutuhkan bersifat spesifik, usulan yang dapat diimplementasikan serta menyiapkan short response time. Kesemuanya itu, hendaknya perlu dipikirkan masak-masak dalam konteks investasi jangka panjang.
Kompetensi dasar yang harus dimiliki guru dan dosen untuk menyelenggarakan model pembelajaran e-learning adalah pertama kemampuan untuk membuat desain instruksional (instructional design) sesuai dengan kaedah-kaedah paedagogis yang dituangkan dalam rencana pembelelajaran. Kedua, penguasaan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dalam pembelajaran yakni pemanfaatan internet sebagai sumber pembelajaran dalam rangka mendapatkan materi ajar yang up to date dan berkualitas. Terakhir adalah penguasaan materi pembelajaran (subject matter) sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
Langkah-langkah kongkrit yang harus dilalui oleh guru/dosen dalam pengembangan bahan pembelajaran adalah mengidentifikasi bahan pelajaran yang akan disajikan setiap pertemuan, menyusun kerangka materi pembelajaran yang sesuai dengan tujuan instruksional dan pencapainnya sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditetapkan. Bahan tersebut selanjutnya dibuat tampilan yang semenarik mungkin dengan didukung oleh gambar, video dan bahan animasi lainnya agar siswa lebih tertarik dengan materi yang akan dipelajari serta diberikan latihan-latihan sesuai dengan kaedah-kaedah evaluasi pembelajaran sekaligus sebagai bahan evaluasi kemajuan siswa. Bahan pengayaan (additional matter) hendaknya diberikan melalui link ke situs-situs sumber belajar yang ada di internet agar siswa mudah mendapatkannya. Setelah bahan tersebut selesai maka secara teknis guru tinggal meng-upload ke situs e-learning yang telah dibuat.
Dalam penetapan kualitas pembelajaran dengan menggunakan model e-learning telah dikembangkan oleh lembaga Qualitative Standards Scholarship Assessed: An Evaluation of the Professoriate yang dikembangkan oleh Glassick, Huber and Maeroff, (2005), dengan indikator-indikator instrumen yang telah dikembangkan meliputi: kejelasan tujuan pembelajaran, persiapan bahan pembelajaran yang cukup, penyiapan metoda belajar yang sesuai, menghasilkan hasil pembelajaran yang signifikan positif, efektifitas dalam mempresentasikan bahan pelajaran serta umpan balik yang kritis dari peserta didik.
Beberapa hal yang perlu dicermati dalam menyelenggarakan program e-learning / digital classroom adalah guru menggunakan internet dan email untuk berinteraksi dengan siswa untuk mengukur kemajuan belajar siswa, siswa mampu mengatur waktu belajar, dan pengaturan efektifitas pemanfaatan internet dalam ruang multi media.
6. Kesimpulan dan Saran
Semua bentuk sarana pendidikan (e-learning atau bukan) adalah bertujuan membantu peserta didik memahami bahan ajar yang diberikan tenaga pendidik kepadanya, disamping itu harus pula mampu membangkitkan minat belajar pada peserta didik tersebut, juga mampu membangkitkan rangsangan indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan serta penciuman. Untuk tujuan tersebut maka seorang pendidik perlu memiliki sebuah media pembelajaran yang memadai, agar bahan ajar dapat diserap peserta didik dengan sebaik-baiknya.
Penggunaan berbagai media pembelajaran selama dapat menunjang kelancaran dan peningkatan kualitas pendidikan dapat saja digunakan, dengan catatan tenaga pendidik yang bersangkutan telah mengetahui kekurangan serta kelebihan media yang digunakannya tersebut. Setiap inovasi pembelajaran akan menghasilkan sesuatu yang menarik bagi peserta didik, tetapi inovasi tanpa pengembangan lebih lanjut justru akan berdampak kurang menarik, dan mengurangi minat peserta didik terhadap bahan ajar yang disajikan.
DAFTAR PUSTAKA
Agusmanthono, 2006. E-Learning Sebagai Solusi Permasalahan Pendidikan Indonesia. (http://agoestbkl.multiply.com), diakses pada 18 Juni 2008
Ary, Donald. 1999. Introduction to Research in Education. New York. Holt, Rinehart and Winston Pub.
Djiwandono, Soenardi. 1996. Tes Bahasa Dalam Pengajaran. Bandung, Penerbit ITB Bandung.
Johnson, Elaine, B.2002. Contextual Teaching and Learning. California. Corwin Press, INC.
Latief, Mohammad Adnan. 2001. Reliability of Language Skills Assessment Result. Jurnal Ilmu Pendidikan. Malang, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia.
Latief, Mohammad Adnan. 2000. Validitas Hasil Pengukuran. Malang, Bahasa dan Seni. Jurnal Bahasa, Sastra Seni dan Pengajarannya. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.
Muktiraga. 2007. E-Learning VS I-Learning. (http://muktiraga.wordpress.com), diakses pada 18 Juni 2008.
Ramadhani, Masykur. 2008. E-Learning di Sekolah dan KTSP. (http://www.penaltila.org), diakses pada 18 Juni 2008
Syahid, Bambang Alam. 2007. E-Learning. Makalah tidak dipublikasikan
Ur, Penny. 1999. A Course in Language Teaching. Practice and Theory. Great Britain. Cambridge University Press.
...
Jumat, 18 Juli 2008
SUDAH PATUTKAH KITA MENJADIKAN E-LEARNING SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BELAJAR SISWA ?
Label:
Jurnal dan Penelitian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
iya laoshi, emang dua duanya ada kelebihan dan kekurangannya. setuju !!
Membaca tulisan Anda mengenai e-learning, tidak ada salahnya jika Anda mengintip content e-learning yang telah kami produksi.
Untuk sampelnya, bisa Anda lihat di www.centrinova.com, sedangkan produknya, yaitu Savvy Series: Human Body Systems, ini merupakan salah satu content e-learning yang dikembangkan secara profesional dan memperhatikan berbagai aspek kebutuhan siswa-siswi SMP dan SMA di dalam belajar dengan menggunakan software pembelajaran.
Savvy Series: Human Body Systems, kini telah tersedia di toko buku Gramedia terdekat d kota Anda, atau Anda dapat menghubungi saya, Renata di 021-53161388
Posting Komentar